# RKUHP Dinilai Overkriminalisasi
TEROPONGNTT, KUPANG — Aliansi Nasional Reformasi NTT Bersama PKBI NTT mendorong agar Pemerintah dan DPR RI mempertimbangkan kembali rencana pengesahan RKUHP yang secara nyata berpotensi menimbulkan banyak masalah baru. Aliansi Nasional Reformasi NTT Bersama PKBI NTT menilai ada 6 point penting dalam pasal-pasal RKUHP yang overkriminalisasi.
Hal ini terungkap dalam konfrensi pers virtual dengan tema “Proyeksi Dampak Disahkannya RKUHP Terhadap Isu Kesehatan Reproduksi dan Kesetaraan Gender,” yang digelar Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) bersama Aliansi Nasional Reformasi NTT pada, Jumat, (4/9/2020). Konferensi pers virtual dipandu aktivis PKBI NTT, Konstan Lopo.
Pada kesempatan ini, Dr. Simplexius Asa, SH, M.H dari PKBI NTT, menegaskan, sesuai hasil diskusi Aliansi Nasional Reformasi NTT yang dilakukan sehari sebelumnya di Kupang, ada enam point penting dalam pasal-pasal RKUHP yang bersifat Overkriminalisasi. Keenam point tersebut yakni, kriminalisasi terhadap promosi alat pencegah kehamilan, kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan penghentian kehamilan meskipun terdapat indikasi medis atau korban perkosaan, kriminalisasi terhadap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum, kriminalisasi terhadap setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan (zinah), over kriminalisasi terkait legitimasi persekusi dalam diskriminasi pasal pencabulan Sesama Jenis Kelamin, dan potensi overkriminalisasi akibat pengadopsian hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menurut Simplexius Asa, RKUHP menyatakan bahwa edukasi dan promosi hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang, padahal UU 52/2009 tentang KB mengedepankan peran masyarakat dan edukasi kesehatan reproduksi dapat dilakukan oleh masyarakat, termasuk pendidik sebaya, konselor, dan relawan. Ini adalah bentuk suatu kemunduran kala masyarakat mulai terlatih dan mengetahui tentang alat kontrasepsi, RKUHP malah melakukan kriminalisasi.
“Dengan pasal ini, bahkan orang tua dapat dipidana apabila memberikan informasi alat pencegahan kehamilan sebagai bekal persiapan perencanaan pernikahan kepada anak. Pasal ini tentunya akan menghambat banyak program pemerintah seperti program keluarga berencana, program edukasi kesehatan reproduksi dan program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV&AIDS,” kata Simplexius Asa.
Dalam konteks NTT, kata Simplexius Asa, ada kondisi yang tidak proporsional antara jumlah tenaga kesehatan dan masyarakat, ditambah kondisi tiap daerah dengan tantangan infrastruktur yang belum memadai, yang mengakibatkan masyarakat tidak mampu mengakses informasi yang diperlukan. Oleh karena itu tetap diperlukan peran masyarakat untuk membantuproses pemberian informasi dan edukasi terkait edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan.
“RKUHP akan mengkriminalisasi seluruh bentuk penghentian kehamilan yang dilakukan oleh perempuan, termasuk yang berkesesuaian.Ini bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan dan PP 61/2014 tentang kesehatan reproduksi. Adanya pengecualian penghentian kehamilan untuk indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan dalam UU Kesehatan. Sedangkan pengecualian pemidanaan dalam RKUHP hanya berlaku pada dokter yang melakukan aborsi tersebut. Hal ini jelas diskriminatif dan akan berpotensi mengkriminalisasi pasangan suami istri yang mengalami kegagalan kontrasepsi maupun remaja yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan bahkan sampai dikeluarkan dari sekolah/kampus,” kata Simplexius Asa.
Dalam pasal RKUHP juga terlihat, kata Simplexius Asa, bahwa aborsi dilarang tapi di sisi lain melarang edukasi dan penyebaran informasi tentang alat pencegah kehamilan disebarluaskan. Hal tersebut dapat berdampak pada tingginya angka aborsi tidak aman.
“Hal lainnya adalah di zaman yang sudah maju ini informasi apa saja sangat bebas diakses oleh anak dan remaja melalui internet. Dengan adanya pembatasan informasi terkait promosi alat kontrasepsi juga dapat berakibat pada tingginya perkawinan anak,” tambah Simplexius Asa.
RKUHP juga menuliskan, kata Simplexius Asa, bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (satu juta rupiah). Namun unsur penggelandangan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapat diinterpretasikan secara luas dan berpotensi overkriminalisasi terhadap kelompok tertentu, seperti musafir, perempuan yang pulang malam dan anak terlantar. Pasal ini tentunya juga bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Dengan kata lain ketentuan dalam RKUHP ini bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya, kata Simplexius Asa, dalam KUHP yang berlaku sekarang, kriminalisasi hanya untuk pihak yang berada dalam perkawinan, namun melalui ketentuan pasal zinah dalam RKUHP, kriminalisasi dapat dilakukan pada persetubuhan di luar perkawinan. Ketentuan tersebut merupakan delik aduan yang hanya dapat diproses atas aduan suami, istri, orang tua atau anak.
“Namun delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua ini malah di sisi lain akan dapat meningkatkan angka perkawinan anak. Sebab, dengan adanya ketentuan tersebut, perkawinan nantinya akan menjadi solusi setiap persetubuhan di luar nikah yang dilakukan oleh anak. Itu dilakukan untuk menghindari agar anak tidak dipidana. Selain itu, ketentuan pasal ini juga terlalu mencampuri ranah privat dan sosial masyarakat,” jelas Simplexius Asa.
Bila negara menganggap bahwa perkawinan sah hanya karena telah tercatat melalui pencatatan sipil dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan agama saja, maka menurut Simplexius Asa, pasangan yang hidup bersama menurut struktur adat dapat dikriminalisasi. Dalam konteks di NTT banyak pasangan hidup bersama dan tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Pencatatan Sipil karena beberapa kewajiban secara adat belum dipenuhi contohnya seperti mahar atau belis yang belum lunas. Karena itu menjadi tidak adil bila pasangan yang menjadi korban dari struktur adat dikriminalisasi.
Begitu pula dengan persekusi, menurut Simplexius Asa, adanya pasal ini dalam RKUHP dapat semakin meningkatkan diskriminasi terhadap setiap orang yang memiliki orientasi seksual yang sama. Selama ini sudah banyak terjadi tindakan persekusi dalam masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya yang memiliki orientasi seksual yang sama, justru dengan diadopsinya pasal ini dalam RKUHP akan berdampak pada semakin tingginya kasus persekusi terhadap anggota masyarakat yang memiliki orientasi seksual yang sama.
“Adanya pasal ini dalam RKUHP dapat semakin meningkatkan diskriminasi terhadap setiap orang yang memiliki orientasi seksual yang sama. Selama ini sudah banyak terjadi tindakan persekusi dalam masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya yang memiliki orientasi seksual yang sama, justru dengan diadopsinya pasal ini dalam RKUHP akan berdampak pada semakin tingginya kasus persekusi terhadap anggota masyarakat yang memiliki orientasi seksual yang sama,” kata Simplexius Asa.
Sementara terkait potensi overkriminalisasi akibat pengadopsian hukum yang hidup dalam masyarakat, kata Simplexius Asa, apabila pasal ini diadopsi dalam RKUHP, maka akan menimbulkan celah praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang karena tidak dinyatakan dalam hukum tertulis. Belum lagi pengertian living law masih sangat sumir, tidak diketahui apakah yang dimaksud adalah hukum adat, hukum yang hidup ataukah hukum yang disesuaikan dengan pengaturan penguasa setempat.
“Adanya pasal ini akan membuka peluang kriminalisasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lain yang dianggap tidak berkesesuaian dengan norma setempat. Pasal ini juga akan membuka celah untuk munculnya peraturan-peraturan intoleran dan mementingkan kepentingan mayoritas di suatu daerah. Serta berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan.. Apabila pasal ini diadopsi dalam RKUHP, maka akan menimbulkan celah praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang karena tidak dinyatakan dalam hukum tertulis. Belum lagi pengertian living law masih sangat sumir, tidak diketahui apakah yang dimaksud adalah hukum adat, hukum yang hidup ataukah hukum yang disesuaikan dengan pengaturan penguasa setempat. Adanya pasal ini akan membuka peluang kriminalisasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lain yang dianggap tidak berkesesuaian dengan norma setempat. Pasal ini juga akan membuka celah untuk munculnya peraturan-peraturan intoleran dan mementingkan kepentingan mayoritas di suatu daerah. Serta berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan,” jelas Simplexius Asa.
Veronika Ata, S.H., M.Hum dari Lembaga Perlindungan Anak NTT mengatakan bahwa NTT belum ada perda tentang anak jalanan. Namun memperhatikan RKUHP yang ada, ini berpotensi untuk mengkriminasasi anak anak yang berada di jalan sementara UUD 1945 pasal 34 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sehinga ini menjadi kontraproduktif antara RKUHP dengan UUD 1945.
Veronika Ata mengatakan RKUHP bertentangan dengan konstitusi dasar, serta bentuk kriminalisasi terhadap perempuan dan anak. Bentuk kriminalisasi perempuan yang tertuang dalam RKUHP tersebut terkandung dalam salah satu pasal yang menyatakan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dinyatakan zinah. Hal ini mendiskriminalisasi perempuan terutama, jika perempuan merupakan korban perkosaan.
“Draf RKUHP ini sangat tidak adil dan perlu ditinjau kembali, dirumuskan ulang agar bisa lebih responsif dan menghormati hak asasi manusia,” kata Veronika.
Sementara Gadrida R. Djukana, SH, M.H mengatakan, Lopo Belajar Gender turut mengemukakan RKUHP tersebut sangat merugikan perempuan karena adanya pasal yang rawan kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan penghentian kehamilan, meskipun terindikasi medis atau korban perkosaan serta akan berdampak yang sama bagi para relawan yang selama ini mengedukasi alat pencegahan kehamilan.
“Tentu sangat merugikan perempuan. RKUHP ini juga dapat berdampak pada para relawan yang selama ini mengedukasi kesehatan reproduksi,” kata Gadrida R. Djukana yang lebih dikenal dengan sapaan Ana Djukana ini. ( max)
Comment