Oleh : Imanuel Lodja
TEROPONGNTT, KUPANG — Brigpol Kresna Ola bukan polisi biasa. Terbukti dia bukan hanya memberantas kejahatan tetapi juga mencoba ikut serta dalam program pemerintah yakni memberantas buta aksara.
Program prioritas Presiden RI Joko Widodo yang memberi perhatian penuh pada masalah pendidikan ternyata juga menjadi perhatian jajaran kepolisian, termasuk wilayah perbatasan.
Brigpol Kresna Ola adalah anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang ditugaskan di Desa Kenebibi Kecamatan Kakulukmesak Kabupaten Belu.
Desa Kenebibi berada di batas RI-Timor Leste. Sebagian besar penduduk adalah eks warga negara Timor Leste.
Selain dikenal menjadi tempat wisata pasir putih yang sering ramai dikunjungi warga, wilayah tersebut terkenal dengan sejumlah tindakan kriminal seperti aksi pajak liar, penganiayaan dan warga yang suka mengkonsumsi minuman keras hingga mabuk dan berbuat keonaran.
Brigpol Kresna Ola bertugas di wilayah tersebut sejak tahun 2015, dan selama beberapa waktu dia berupaya mempelajari karakter warga setempat.
Ia menggambarkan kalau sumber daya manusia di wilayah tersebut sangat rendah yang berdampak pada sikap anak muda diwilayah tersebut yang sering membuat tindakan kriminal.
“Saya mulai membentuk komunitas sekolah buta aksara Desa Kenebibi,” ujarnya saat ditemui disela-sela menjalankan aktivitasnya mengajari puluhan kaum bapak dan ibu di desa Kenebibi, Rabu (3/1) petang di lokasi rumah baca.
Sejak bulan Oktober 2016, Brigpol Kresna Ola memulai ide nya ini. Berbekal tekad dan semangat yang tinggi, bintara lulusan SPN Kupang Polda NTT tahun 2005 ini mulai menghimpun warga.
Tujuannya ingin mengajari warga mengenal huruf sehingga bisa membaca dan menulis.
Sambil mengajar, Brigpol Kresna sekaligus menghimbau warga agar menasehati anak-anak mereka tidak berbuat kejahatan.
Awalnya kelompok ini beranggotakan 60 bapak dan ibu buta aksara. Namun karena terkendala jarak rumah yang berjauhan maka kelompok dibagi menjadi dua kelompok.
“Intinya warga bisa membaca dan menulis,” ujarnya mengenai alasan memilih menjadi pengajar kelas buta aksara.
Walau terkendala kurangnya tempat belajar maupun alat tulis, Brigpol Kresna tetap berupaya mengagendakan jam belajar.
Waktu belajar pun disesuaikan dengan waktu luang warga masyarakat. Namun setiap minggu dilakukan pertemuan setiap hari Rabu petang antara pukul 15.00 wita hingga 16.00 wita.
Secara swadaya, Brigpol Kresna dibantu Kapolsek Kakulukmesak Polres Belu saat itu, Iptu Ketut berupaya membeli buku dan pensil tulis bagi peserta kelompok belajar.
Selain minimnya prasarana, kendala lain dihadapi Brigpol Kresna adalah saat mengumpulkan warga. Sering kali warga enggan berkumpul kalau tidak mendapatkan apa-apa.
Ia pun tidak kehilangan akal. Melalui berbagai pendekatan maka puluhan warga pun mau bergabung dalam kelompok belajar.
Brigpol Kresna mengakui, bahwa masalah komunikasi jadi tantangan serius. Rata-rata warga asal Timor Leste ini tidak menggunakan bahasa Tetun tetapi memakai bahasa tokodede, salah satu bahasa asli masyarakat asal Maubara Timor Leste yang hanya digunakan masyarakat tertentu. Sementara bahasa Tetun adalah bahasa resmi masyarakat Timor Leste yang familiar bagi masyarakat lain di perbatasan.
Meski demikian, Brigpol Kresna bertekad bulat bahwa minimnya bantuan pemerintah daerah dan tantangan lain tidak akan menyurutkan niatnya mencerdaskan kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan RI-Timor Leste.
Rata-rata murid Brigpol Kresna adalah ibu rumah tangga yang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Sebagian kaum bapak pun ikut kelas termasuk juga anak usia sekolah juga ikut belajar. Mereka rata-rata putus sekolah di bangku kelas III sekolah dasar saat masih menjadi warga Timor-Timur.
Untuk memudahkan akses masyarakat yang mau belajar maka Brigpol Kresna meminjam halaman rumah Laurindu do Santos yang juga ketua RT 11/RW 03 Desa Kenebibi Kecamatan Kakulukmesak Kabupaten Belu.
Dibawah pohon, masing-masing peserta kelompok belajar membawa kursi sendiri dari rumah untuk belajar.
Brigpol Kresna juga menyiapkan papan tulis dan spidol sebagai alat bantu mengajar.
Setiap akhir pelajaran, masing-masing peserta diberikan tugas menulis huruf dan kata seperti nama hari atau nama bulan dan nama masing-masing peserta. Pada pertemuan berikutnya, tugas tersebut dievaluasi bersama peserta.
Laurindu do Santos (53), salah seorang peserta kelas belajar mengungkapkan kegembiraannya atas terobosan dari anggota Polri tersebut.
Warga asal Timor Leste ini juga menjadi salah satu peserta bersama istrinya. Dengan senang hati ia juga meminjamkan halaman rumah sebagai tempat belajar.
Kebanggaan lain yang dirasakan adalah sikap familiar polisi dalam melakukan pendekatan sehingga masyarakat dan polisi pun akrab serta memiliki kesatuan.
“Kami semangat dan senang ikut kegiatan ini. Sekarang kami sudah bisa mengenal huruf A sampai Z dan huruf gabungan,” ujar ayah tiga orang anak ini yang mengaku sudah ikut kelas tersebut sejak Oktober 2016 lalu.
Ia pun antusias mengajak dan mendorong warga untuk ambil bagian dalam belajar. Waktu belajar pun disesuaikan sehingga tidak menganggu kegiatan ibu rumah tangga maupun kaum bapak yang harus berkebun.
Mereka pun bersyukur karena polisi sudah berbuat banyak bagi warga mulai dari pemberantasan buta huruf hingga menekan angka kriminalitas di wilayah mereka.
Kelompok yang rata-rata diisi warga putus sekolah dan tidak pernah bersekolah ini sudah berkembang menjadi kelompok arisan maupun kelompok pekerja yang mengutamakan gotong royong.
Hal lain yang dirasakan adalah adanya kemajuan bagi mereka sehingga selain bisa membaca dan menulis, mereka pun bisa berkomunikasi dengan lancar dengan warga lain yang berkunjung ke wilayah mereka.
Mereka tetap berharap adanya perhatian pemerintah daerah mendukung kegiatan tersebut karena disadari makin banyak warga buta huruf yang berminat untuk mengikuti kegiatan tersebut, sementara lokasi belajar dan sarana yang ada terbatas.
Untuk menunjukkan rasa bersyukur, warga menghibahkan lahan untuk dibangun rumah baca merah putih. Bangunan rumah baca dibangun secara swadaya oleh masyarakat dan warga belajar. Bahan bangunan pun seperti pasir, batu, semen dan seng dikumpulkan secara swadaya.
Kini rumah baca merah putih bukan sekedar menjadi rumah baca namun sudah menjadi bangunan serba guna, dan bisa dipakai untuk kegiatan keagamaan, pemerintah dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Warga belajar hanya memanfaatkan pada setiap Rabu dan Jumat petang usai berkebun untuk belajar menulis dan membaca. Buku bacaan juga diadakan secara swadaya dan juga dukungan dari perorangan maupun kelompok yang peduli pada kegiatan sang polisi tersebut.
Brigpol Kresna Ola sendiri merasa ada kepuasan tersendiri saat ia bisa mengajari warga mengenal huruf dan masyarakat disibukkan dengan kegiatan belajar mengajar sehingga menurunkan angka kriminalitas.
(*)
Comment