# Penanganan Bencana Juga Harus Responsif Gender !!!
TEROPONGNTT, JAKARTA — Duaarrrr!!! Tiba-tiba terdengar suara dentuman disusul kepulan asap dari lantai 5 Gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Jakarta. Alarm berbunyi, lampu tanda keselamatan menyala, lampu penerang di seluruh ruangan mati.
Tak lama terdengar seseorang mengumumkan jika gedung Kemen PPPA terbakar dengan menggunakan alat pengeras suara. Seluruh pegawai dihimbau untuk segera mengevakuasi diri.
Suasana lantai perkantoran yang biasanya hening karena seluruh pegawai sibuk bekerja, seketika berubah menjadi hirup pikuk. Orang-orang berlomba-lomba turun menggunakan tangga darurat untuk menyelamatkan diri.
Yaa..seperti itulah gambaran simulasi kesiapsiagaan bencana yang dilakukan Kemen PPPA dalam rangka Hari Kesiapsiagaan Bencana yang diperingati pada 26 April hari ini.
“Himbauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mengadakan simulasi evakuasi bencana secara serentak di seluruh Indonesia dilakukan Kemen PPPA sebagai bentuk partisipasi dan tindakan preventif jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Hal ini juga diharapkan dapat mengunggah kesadaran, meningkatkan kewaspadaan, dan kesiapsiagaan seluruh pegawai dan karyawan di lingkungan Kemen PPPA,” ujar Kepala Biro Umum dan SDM Kemen PPPA, Prijadi Santosa usai mengikuti simulasi evakuasi bencana di Gedung Kemen PPPA, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Prijadi menambahkan kegiatan simulasi ini sangat baik dilakukan untuk mengetahui kesiapan seluruh aspek, mulai dari pegawai dan karyawan, sarana dan prasarana gedung, tim keamanan / tanggap darurat, dan efektivitas waktu untuk mengevakuasi seluruh pegawai dan karyawan agar selamat sampai di titik kumpul.
“Dari hasil simulasi, Kemen PPPA membutuhkan waktu 13 menit 50 detik untuk menyelamatkan seluruh orang yang hadir di kantor pada hari ini. Catatan waktu ini masih dinilai ideal mengingat Gedung Kemen PPPA memiliki 11 lantai dan waktu yang dicapai masih di bawah 15 menit. Dalam simulasi ini, kami memisahkan jalur evakuasi antara perempuan dan laki-laki serta melakukan evakuasi dengan mengutamakan kelompok rentan, seperti ibu hamil, lansia, disabilitas, dan anak-anak,” tutur Prijadi.2
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, Nyimas Aliah menegaskan seharusnya seluruh gedung, baik itu pemerintahan maupun swasta harus memiliki sarana dan prasarana evakuasi / penyelamatan yang berperspektif gender.
“Saat ini BNPB sudah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana (Perka BNPB No. 13/2014), namun belum menyentuh aspek pengurangan resiko bencana,” kata Nyimas Aliah.
Penanggulangan bencana yang responsif gender, kata Nyimas Aliah, perlu dilaksanakan untuk memastikan pemenuhan hak dan kebutuhan laki-laki dan perempuan secara adil dan manusiawi.
“Saat ini kami tengah menyusun Peraturan Menteri PPPA tentang perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender di pengungsian. Dalam situasi bencana, perempuan dan kelompok rentan lain rawan sekali mengalami kekerasan dan pelecehan, misalnya dibentak atau disentuh salah satu bagian tubuhnya,” kata Nyimas Aliah.
Begitu juga ketika berada di pengungsian, lanjut Nyimas Aliah, sarana dan prasarana yang ada justru memiliki potensi terjadinya kekerasan dan pelecehan, seperti toilet yang tidak memiliki pintu.
“Oleh karena itu, saya berharap Kemen PPPA dapat menjadi contoh bagi evakuasi / penanganan bencana yang responsif gender,” tutup Nyimas Aliah. (*/Siaran Pers Kemen PPPA
Comment