TEROPONGNTT, ATAMBUA — Laurindo do Santos, warga eks Timor Leste yang memilih bergabung menjadi warga NKRI bersama ratusan warga lainnya kini mendiami Desa Kenebibi Kecamatan Kakuluk Mesak Kabupaten Belu. Wilayah ini merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Ia sendiri bersama rekannya dari Timor Leste belum pernah merasakan bangku pendidikan saat masih menjadi warga Timor Leste.
Laurindo yang saat ini menjadi salah seorang ketua RT di desa Kenebibi merasakan betul kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi dengan warga lokal karena perbedaan bahasa. Kondisi ini makin diperparah dengan kesulitan hidup pasca bantuan pemerintah berangsur-angsur dihentikan. Komunikasi hanya berjalan lancar dengan sesame warga asal Timor Leste.
Ia ingat betul kalau akses mendapatkan bantuan terhambat karena ia dan ratusan warga lainnya merupakan warga buta huruf. Kondisi ini menjadikan sebagian warga asal Timor Leste cenderung sensitif dan sering terlibat tindakan kriminal. Aksi pencurian sering terjadi. Konflik dan perkelahian dengan warga lokal pun nyaris terjadi setiap hari. Wilayah tersebut menjadi rawan tindakan kriminalitas. Konsumsi minuman keras pun menjadi santapan harian yang berujung pada tindakan kekerasan.
“Hampir setiap hari ada perkelahian pemuda karena mabuk minuman keras. Kami juga tidak ada kesibukan lain karena hanya berharap bantuan pemerintah saat itu,” ujarnya.
Aksi premanisme pun sering terjadi sehingga banyak pengunjung lokasi wisata pasir putih di Desa Kenebibi tidak nyaman karena sering menjadi korban aksi palak warga setempat.
Faktanya keterbelakangan pendidikan menjadi pemicu utama kondisi ini. Di wilayah batas NKRI ini pendidikan bagi anak usia sekolah masih sangat memprihatinkan. Kondisi yang sama juga terjadi pada warga yang 75 persennya buta huruf.
Kehadiran sebuah rumah baca yang dirintis seorang anggota Polri Polres Belu, Brigpol Kresna Ola di Desa Kenebibi ditentang keras masyarakat. Masyarakat apatis dengan kehadiran rumah baca ini karena masyarakat lebih memilih berkebun daripada belajar membaca dan menulis.
Butuh waktu empat bulan bagi anggota polisi Bhabinkamtibmas ini untuk meyakinkan masyarakat mendukung rumah baca yang dirintisnya. Salah satu cara yang ditawarkan bahwa warga buta huruf dikumpulkan dirumah tokoh masyarakat usai berkebun.
dengan pendekatan maka masyarakat datang dengan sukarela membangun rumah merah putih sebagai rumah baca dan masyarakat sangat antusias memanfaatkan sarana rumah merah putih karena masyarakat sudah merasakan manfaat positif.
Kondisi pendidikan di Kabupaten Belu sendiri juga memprihatinkan. Angka anak putus sekolah dan warga buta huruf sangat besar. Hal ini diakui kepala dinas Pendidikan Kabupaten Belu, M Loe Mau saat ditemui belum lama ini.
Dalam tiga tahun terakhir, angka putus sekolah tidak stabil. Jumlah guru sekolah dasar dan SMP pun tidak seimbang dengan jumlah siswa dan luasnya wilayah Kabupaten Belu.
Hingga tahun 2019, hanya ada 1.851 orang guru tersebar di 147 SD dan 945 orang guru yang mengajar di 47 SMP di Kabupaten Belu. Dari segi kualitas pengajar juga memprihatinkan.
“Dari 1.851 orang guru sekolah dasar, masih ada 300 orang guru yang berijasah sekolah pendidikan guru (setara SMU), padahal regulasi baru menyebutkan bahwa pengajar sekolah dasar harus lah sarjana pendidikan guru sekolah dasar,” ujar Kadis Pendidikan Kabupaten Belu.
300 guru sekolah dasar ini masih kesulitan mengakses pendidikan setara S1 karena persoalan biaya, fasilitas perguruan tinggi yang jauh dari wilayah dan faktor lainnya. Sampai dengan tahun 2018 di Kabupaten Belu baru terdapat terdapat 147 SD, 47 SMP serta 31 SMU/SMK tersebar di 12 kecamatan, 69 desa dan 12 Kelurahan.
Akses pendidikan yang jauh dan minimnya sarana pendidikan menyebabkan tingginya angka putus sekolah dan buta huruf. Tercatat ada seribuan anak usia sekolah tidak lagi mengenyam pendidikan. Tingginya anak putus sekolah di kabupaten Belu diakui kepala dinas pendidikan dikarenakan mutasi penduduk ke Timor Leste, Papua dan Kalimantan sehingga banyak anak usia sekolah mengikuti orang tuanya.
Kendala lain yang menghambat pendidikan di Kabupaten Belu adalah topografi dan sebaran penduduk yang tidak merata. Sesuai ketentuan, keberadaan SMP dan SMU harus ada pada setiap jarak enam kilometer namun di Kabupaten Belu belum bisa dilakukan karena daya dukung sekolah dasar dan SMP belum bisa. Banyak anak sekolah tinggal jauh dari akses sekolah bahkan di Kecamatan Lamaknen anak sekolah harus berjalan kaki sejauh tujuh hingga 10 kilometer untuk ke sekolah.
Wilayah Desa Kenebibi Kecamatan Kakuluk Mesak Kabupaten Belu NTT merupakan wilayah yang berbatasan langsung daratan dengan Negara Timor Leste. Pasca referendum tahun 1999 lalu, wilayah ini kebanyakan dihuni eks pengungsi Timor Leste yang memilih menjadi warga NKRI. Kepala desa Kenebibi, Maria Yovita Anok mengakui kalau desa yang dihuni 827 KK ini kebanyakan adalah pengungsi Timor Leste. Hingga saat ini penduduk desa Kenebibi sebanyak 3.175 jiwa terdiri dari 1.691 laki-laki dan 1.484 perempuan tersebar di empat rukun warga dan 12 RT.
Namun pendidikan diwilayah tersebut masih minim karena banyak masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis. Angka anak putus sekolah pun tinggi dalam beberapa tahun ini.
Maria Nurak (12), warga Desa Kenebibi Kabupaten Belu yang ditemui dirumahnya mengakui kalau ia tidak lagi bersekolah sejak duduk dibangku kelas II sekolah dasar atau saat berusia 9 tahun karena jarak sekolah yang sangat jauh.
Ia harus berjalan berkilo-kilo bersama sejumlah rekannya untuk mencapai sekolah. Mereka pun harus bangun lebih awal agar tidak terlambat masuk sekolah. Selain itu, terkadang sekolah harus libur karena banyak siswa tidak masuk ke sekolah. Jumlah guru pun minim karena satu orang guru menangani dua hingga tiga kelas. Siswa sekolah pun terpaksa tidak ke sekolah saat hujan karena akses jalan yang berlumpur.
Minimnya dukungan dan perhatian pemerintah daerah setempat dibidang pendidikan di wilayah perbatasan dibenarkan Brigpol Kresna Ola, salah satu anggota Polres Belu yang sudah tiga tahun menjadi Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas).
Hal ini tergambar dengan banyaknya warga buta aksara dan anak putus sekolah diwilayah perbatasan termasuk minimnya sarana dan prasarana pendidikan.
Di wilayah perbatasan, banyak kendala yang dihadapi seperti topografi wilayah, sumber daya manusia di wilayah perbatasan yang minim dan kurang. Akibatnya, di Desa Kenebibi, puluhan anak usia sekolah pun harus putus sekokah dan memilih berkebun.
Rata-rata anak usia sekolah baru masuk sekolah dasar dikisaran usia 8 hingga 9 tahun tanpa melalui jenjang taman kanak-kanak.
Sedikit terobosan yang dilakukan pemerintah daerah seperti yang diungkapkan Kadis Pendidikan Kabupaten Belu dengan berupaya supaya ada kemudahan akses sarana pendidikan dengan membuka pendidikan satu atap (Satap) untuk wilayah yang jauh dari akses pendidikan.
Dinas pendidikan juga mengirimkan data 1.015 orang anak putus sekolah ke kementerian pendidikan nasional.
Kegiatan di Tempat Kegiatan Belajar Mengajar (TKBM) dalam bentuk kelompok juga digalakkan untuk melatih dan mengajari warga putus sekolah supaya terbebas dari buta aksara.
Sejak tahun 2018 sudah ada Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang diaktifkan dan mendapat intevensi dari pemerintah pusat serta rehabilitasi gedung untuk kegiatan belajar.
“Kesulitan paling besar adalah sumber daya yang bisa membantu warga buta aksara, padahal kami bertekad terbebas dari buta aksara,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Belu, M Loe Mau.
Untuk penanganan anak putus sekolah di Kabupaten Belu sudah ada lima PKBM paket A, B dan C yang melakukan kegiatan belajar mengajar untuk mengakses sarana dan fasilitas pendidikan supaya memiliki ketrampilan.
Untuk penyediaan sarana prasarana pendidikan maka saat ini sudah ada intervensi Pemerintah pusat melalui dana DAK yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Ada pula intervensi anggaran dari kementerian desa untuk pembangunan asrama siswa dan guru serta dukungan kementerian PUPR yang memberi intervensi untuk 14 sekolah dalam bentuk pembangunan fisik bangunan sekolah.
Untuk peningkatan sumber daya manusia pendidik, pemerintah daerah melakukan kerjasama dengan universitas Nusa cendana(Undana), sebuah universitas negeri di Kota Kupang NTT untuk pendidikan lanjutan bagi guru yang belum berkualifikasi sarjana.
Namun kerjasama tersebut terhenti karena jarak yang jauh dan minimnya anggaran pendukung.
Kedepan, pemerintah daerah kembali menjalin komunikasi dengan Undana untuk kualifikasi guru-guru sehingga guru-guru yang berijasah SD harus berkualifikasi S1 serta bersertifikasi.
Sejumlah guru juga diberikan tugas belajar, namun dalam jumlah terbatas karena terkendala dukungan anggaran.
Untuk mengurangi angka putus sekolah yang sangat tinggi maka pemerintah daerah melalui dinas pendidikan Kabupaten Belu bekerjasama dengan kepala desa dan orang tua agar mendorong anak-anak kembali bersekolah.
Bupati Belu Willy Lay juga mewajibkan seluruh organisasi perangkat daerah untuk menyumbang buku bagi kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan secara swadaya maupun menggalakkan perpustakaan keliling.
Rumah baca yang saat ini menjadi rumah merah putih rintisan Brigpol Kresna Ola menjadi salah satu lembaga yang ikut ambil bagian dalam pemberantasan buta aksara di wilayah perbatasan.
Maria Yovita Anok selaku kepala desa di wilayah perbatasan memiliki harapan besar agar perhatian pemerintah pada masalah pendidikan di perbatasan bisa lebih diperhatikan terutama ketersediaan sarana dan guru yang memadai sehinga angka putus sekolah bisa dikurangi dan pemberantasan buta huruf terus dilakukan.
Harapan yang sama disampaikan Dominggus, salah seorang guru di desa Kenebibi yang meminta kepedulian pemerintah pada perbaikan gedung sekolah penambahan tenaga pendidik di sekolah wilayah perbatasan sehingga pendidikan di perbatasan tidak lagi memprihatinkan namun perlahan-lahan ada harapan yang pasti bahwa pendidikan di perbatasan menjadi yang terdepan guna mempersiapkan generasi muda yang bermartabat.
(Imanuel Lodja)
Comment