TEROPONGNTT, KUPANG — Seorang ibu berusia kira-kira hampir 50 tahun, sibuk menyiram tanaman di area persawahan Belo, di wilayah RT 03 Kelurahan Belo, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Senin (5/10/2020) sang, sekitar pukul 11.00 wita. Untuk menyiram tanamannya, ibu bernama Simri Tunmuni ini memikul air dari sumur gali yang juga ada di sekitar kawasan persawahan tersebut, yang jaraknya kira-kira 100 meter dari lokasi tanaman miliknya.
Air dipikulnya menggunakan dua buah ember berukuran cukup besar. Kedua ember diikat di kedua ujung sebuah bambu lalu dipikulnya menggunakan bahunya. Ibu Simri Tunmuni terlihat begitu semangat. Beberapa kali ia bolak-balik mengambil air dari sumur itu. Tanaman yang disiram ada dua petak, yang satu adalah petak tanaman sayur kol, sementara petak yang satu lagi adalah pembibitan tanaman sayur sawi.
Ketika ditanya wartawan teropongntt.com, Ibu Simri mengatakan, saat ini air dari sumber Mata Air Belo yang mengairi kawasan persawahan itu sudah sangat kecil debitnya. Akibatnya, sawah menjadi kering karena tidak diairi air dan terpaksa petani termasuk dirinya, harus memikul air untuk bisa menyiram tanaman. Bahkan, tanaman sayur kol miliknya terancam gagal panen karena kekurangan air.
Hesti Mone, salah satu petani sayur lainnya yang ditemui di tempat itu, juga membenarkan kondisi yang ada. Tanaman tomat milik Hesti Mone juga terancam kering akibat kekurangan air. Beruntung masih sempat berbuah meski produksi buahnya tidak sebanyak jika ketersediaan air cukup.
Ketua RW 03 Kelurahan Belo, Goris Takene mengatakan, sebelumnya kawasan persawahan Belo selalu dialiri air sepanjang tahun. Namun, sejak tiga atau empat tahun terakhir, debit air dari sumber mata air Belo terus menurun. Hingga saat ini, ketika memasuki musim kemarau, debit air di sumber mata air Belo menjadi sangat kecil dan tidak bisa mengairi persawahan sampai nanti musim hujan tiba.
Sebagai buktinya, kata Goris Takene, bisa disaksikan sendiri kondisi kawasan persawahan Belo yang luas sekitar 20-an hektar dan tampak kering tersebut. Tidak ada air yang mengalir di saluran air yang terhubung dari sumber mata air.
Sumber Mata Air Belo terletak sekitar 1 kilometer lebih jauhnya dari lokasi persawahan tempat Ibu Simri Tunmuni menyiram tanamannya. Didampingi Goris Takene selaku Ketua RW 03 Kelurahan Belo, yang juga merupakan tokoh masyarakat setempat, wartawan teropongntt.com lalu mendatangi sumber mata air tersebut.
Debit air di sumber mata air Belo memang terlihat sangat kecil. Di sumber mata air ini telah dibangun tembok pembatas di sekelilingnya, sehingga aliran air mengalir lebih terarah mengikuti saluran yang ada menuju kawasan persawahan. Tembok pembatas dibungun mengikuti ukuran sungai di sumber mata air tersebut.
Di kawasan sumber mata air ini ada pohon-pohon besar, namun ada juga pohon yang mulai tumbang dan patah, mungkin karena usia pohon yang sudah terlalu tua. Pohon-pohon yang tumbuh secara alamiah inilah yang mungkin berfungsi sebagai penyangga air di sumber mata air tersebut. Namun, sekitar 30-an meter dari lokasi sumber mata air Belo, sudah banyak perumahan yang menjadi area pemukiman penduduk.
Menurut Goris Takene, di bagian atas dari kawasan sumber mata air Belo juga sudah menjadi kawasan pemukiman baru, bahkan ada kawasan perumahan yang dibangun developer. Sehingga keberadaan hutan sebagai penyangga air hujan memang berubah menjadi kawasan perumahan baru.
“Penurunan debit air ini mungkin disebabkan beberapa faktor, pertama adalah pemanasan global yang membuat curah hujan menjadi sangat sedikit setiap tahunnya, bahkan dalam satu tahun cuma satu bulan lebih terjadi hujan di Kupang ini. Selain itu, sudah banyak pepohonan di sekitar sumber mata air yang ditebang dan berubah menjadi kawasan pemukiman. Ini menjadi pemicu turunnya debit air di sumber mata air Belo,” kata Goris Takene.
Selain itu, kata Goris Takene, berkembangnya usaha sumur bor mungkin juga ikut berpengaruh meskipun hal itu tidak dapat dipastikan. Air bawah tanah tersedot melalui sumur bor, sehingga air yang harusnya keluar ke permukaan tanah melalui sumber mata air menjadi berkurang.
Untuk menjaga tetap lestarinya debit air di sumber mata air tersebut, kata Goris Takene, warga setempat juga menggelar upacara adat pada bulan tertentu setiap tahunnya. Upacara adat bertujuan mengucap syukur dan memohon rahmat Tuhan agar sumber mata air Belo tetap terjaga kondisinya dan tetap mengalirkan air bagi usaha persawahan warga.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang, Yerry Padji Kana yang dikonfirmasi pertelepon, Rabu (7/10/2020) siang, mengatakan, sesuai nomenklatur, pemeliharaan sumber mata air menjadi kewenangan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi NTT. Meski demikian, menyangkut hutan lindung dan pemeliharaan sumber mata air ada regulasi yang mengaturnya sehingga ekosistem hutan lindung dan sumber mata air bisa terpelihara.
Sementara menyangkut pemukiman penduduk di dekat kawasan sumber mata air Belo, Yerry mengatakan, migrasi penduduk dan pertumbuhan penduduk memang sulit dibendung di perkotaan termasuk Kota Kupang. Hanya saja diharapkan, pembangunan pembukiman harusnya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (sesuai RT/RW).
“Perkembangan kota memang tidak bisa dibendung, migrasi penduduk dari desa ke kota juga terus terjadi. Apalagi Kota Kupang merupakan kota jasa dan perdagangan. Sementara untuk menjaga ketersediaan air, program pemerintah Kota Kupang yang sedang digalakan saat ini adalah Gerakan Kupang Hijau. Harus ditanan pepohonan yang bisa berfungsi sebagai penyangga air di sekitar sumber mata air Belo,” kata Yerry.
Menyinggung mengenai pertumbuhan usaha sumur bor dan diduga ikut berpengaruh pada penurunan debit air permukaan pada sumber mata air, Yerry mengatakan, pemerintah Kota Kupang memang berencana membuat peraturan daerah (Perda) terkait pembuatan dan pengelolaan sumur bor. Sehingga pengelolaan air bawah tanah bisa dilakukan secara baik dan efektif.
Sementara Kepala Divisi Sumber Daya Alam Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga mengatakan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) merupakan lembaga yang memberi perhatian serius pada upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Bukan cuma pada bidang pertambangan, tetapi pada semua bidang pembangunan yang bisa saja berpengaruh pada kerusakan lingkungan.
Upaya menjaga kelangsungan sumber daya air seperti menjaga dan melestarikan kawasan sumber mata air Belo, menurut Nonga, juga menjadi salah satu perhatian bagi Walhi NTT. Kelestarian lingkungan dan ekosisitemnya di sumber mata air Belo mestinya menjadi perhatian pemerintah agar masyarakat tidak dirugikan akibat penurunan debit air untuk kebutuhan usaha pertanian di kawasan persawahan Belo.
“Perubahan iklim dan pemanasan global memang berdampak pada rendahnya curah hujan di wilayah NTT. Tapi perubahan iklim dan pemanasan global juga menyebabkan terjadinya hujan badai dan tanah longsor di wilayah yang lain di dunia ini. Karena itu, upaya menjaga dan melestarikan lingkungan menjadi hal penting dalam upaya mengurangi laju dan dampak pemanasan global serta perubahan iklim,” kata Nonga.
Nonga mengingatkan, selain perubahan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan permukiman yang bisa membuat fungsi penyangga air hujan di kawasan sumber mata air berkurang, pengembangan HTI (hutan tanaman industri) dengan jenis tanaman pepohonan tertentu, juga bisa menjadi faktor yang ikut mempengaruhi. Sebagai contoh, tanaman jati merupakan tenis tanaman yang rakus air, sehingga justru membuat kawasan hutan menjadi lebih gersang.
“Sudah banyak fakta yang membuktikan hal tersebut. Sumber mata air di tempat lain di wilayah Kabupaten Kupang juga ada yang mengalami hal yang sama. Bila tanaman jati ada di sekitar kawasan sumber mata air, bisa saja membuat debit air di sumber mata air tersebut menjadi menurun,” kata Nonga.
Nonga juga mengatakan, jenis tanah di wilayah Kota Kupang merupakan kawasan kars. Kars adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping. Jenis tanah batu gamping inilah yang membuat kawasan Kota Kupang dan sekitarnya memiliki ekosistem sendiri yang berbeda dengan jenis tanah lainnya.
Pada kondisi jenis tanah kars, kata Nonga, air hujan yang turun ke bumi bisa langsung meresap ke dalam tanah meskipun tidak ada pepohonan sebagai penyangga air. Asalkan pembangunan permukiman menyisahkan bagian lahan pekarangan sebagai resapan air dan air hujan tidak dibiarkan mengalir begitu saja ke laut. Itulah sebabnya ketersediaan air tanah di Kota Kupang dan sekitarnya selalu ada.
Fakta dan penjelasan warga tentang kondisi penurunan debit air di sumber mata air Belo menjadi contoh betapa pemanasan global dan perubahan iklim terasa dampaknya pada usaha pertanian seperti yang dialami petani di kawasan persawahan Belo. Keringnya aliran air dari sumber mata air membuat petani di lokasi persawahan Belo harus menggali sumur dan memikul air untuk bisa menyirami tanaman. Sebuah pekerjaan tambahan yang mestinya tidak dilakukan jika kondisi ketersediaan air cukup sepanjang tahun.
Pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang, Yerry Padji Kana dan pernyataan Kepala Divisi Sumber Daya Alam Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga, juga membuktikan bahwa pengelolaan pembangunan mestinya dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan. Harus ada tata ruang wilayah yang menjadi acuan, harus ada upaya untuk melestarikan ekosisitem.
Kondisi debit air di sumber mata air Belo yang berdampak pada kekeringan di area persawahan Belo tentu tidak terlepas dari krisis ekologis yang yang dialami secara meluas di Nusa Tenggara Timur dan di Indnesia pada umumnya. Diharapkan, ada upaya untuk kembali melestarikan kawasan sumber mata Air Belo sehingga petani di wilayah itu tidak terus-terusan kesulitan air untuk usaha persawahan di musim kemarau.
(max)
Comment