# Oleh Darius Y. Nama (Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Citra Bangsa, Kupang, NTT)
TEROPONGNTT, KUPANG — Setiap orangtua pasti menginginkan anak-(anaknya) berhasil di masa depan. Namun, yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah orangtua mampu mendidik anaknya untuk meraih sukses? Pertanyaan ini tampak biasa-biasa saja, tapi sulit dijawab. Sebab, menjadi orangtua yang mampu mendidik anak dengan baik bukanlah perkara yang mudah. Orang yang sudah berpendidikan tinggi sekalipun belum tentu memahami dengan baik mengenai bagaimana menjadi orangtua yang baik. Setiap orangtua idealnya sudah mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana membentuk sikap dan karakter anak sebelum membentuk bahtera rumah tangga.
Namun, hal ini belum diperhatikan pada masa pranikah. Akibatnya, ketika berumah tangga dan mempunyai anak, masih banyak orangtua yang belum mampu mendidik anaknya dengan baik. Anak-anak sudah harus dibentuk karakternya sejak dini. Ini penting untuk mengantisipasi kesulitan pembentukan karakter anak ketika ia memasuki usia remaja, apalagi menuju dewasa. Pengaruh lingkungan sangat besar dalam pembentukan karakter anak karena anak-anak adalah peniru yang ulung. Mereka bisa melakukan apa saja yang sama atau persis dengan apa yang dilihat. Di lingkungan keluarga, ketika masih kecil, contoh yang mereka tiru biasanya adalah orang terdekatnya, yaitu orangtuanya. Misalnya, peniruan terhadap cara jalan, cara makan, cara berbicara sampai dengan cara memperlakukan orang lain di sekitar mereka. Masing-masing anak membutuhkan perlakuan yang berbeda karena mereka memiliki kecerdasan dan perilaku yang berbeda-beda, bahkan kembar identik sekalipun.
Hal ini menuntut kepekaan orangtua untuk mengerti dan memahami setiap anak. Seperti yang dikatakan John Locke dengan teori Tabula Rasa, anak-anak terlahir seperti kertas putih yang siap untuk ditulisi. Kertas putih itu akan terlihat indah apabila diberi lukisan yang indah, akan tetapi jika kertas tersebut dicorat coret maka akan menjadi kertas buram yang berakhir ditempat sampah. Dalam hal ini, orang tua yang pertama berperan dalam membentuk anak terlebih dahulu. Ada anak yang tidak bisa dididik dengan kekerasan dan ada anak yang harus dikerasi baru bisa dibentuk. Namun, semua anak membutuhkan bimbingan dan contoh yang positif terutama dari orangtua mereka agar bisa menjadi pribadi yang baik di masa depan.
Disiplin positif menjadi salah satu pilihan yang bisa digunakan untuk membentuk karakter anak yang positif dalam berperilaku. Menurut Joan E. Durrant dalam bukunya yang berjudul Positive Discipline in Everyday Parenting, Disiplin Positif adalah cara memperlakukan anak tanpa kekerasan dengan menghargainya sebagai pembelajar. Ini adalah metode pengajaran untuk membantu anak menjadi pribadi yang berhasil, memberikan mereka informasi serta mendukung pertumbuhan mereka. Tujuan akhirnya adalah anak akan mampu melakukan hal-hal yang positif yang sudah dibiasakan dari kecil. Dengan begitu, karakter pribadi yang positif bisa terbentuk.
Mengaca pada angka kekerasan terhadap anak, Indonesia tergolong sangat tinggi. Per Agustus 2020, berdasarkan data yang dirilis oleh kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), terdapat 4.833 kasus kekerasan pada anak (kompas.com). Ini menunjukkan bahwa, masih banyak anak yang belum diperlakukan dengan benar. Kekerasan pada anak akan sangat berdampak secara psikis seperti, kepercayaan diri anak akan menurun dan anak cenderung menjadi penakut. Anak akan lebih suka berdiam diri, mengalami depresi, menganggu konsentrasinya dalam mengerjakan berbagai hal, cenderung emosional, tidak percaya pada orangtua dan merasa tidak nyaman berada di dekat orangtua.
Sebenarnya, anak-anak adalah manusia dalam bentuk mini yang mana cara berpikir mereka pun masih terbatas pada hal-hal yang sederhana yang ditemukan sehari-hari. Ini akan berdampak pada penilaian terhadap kelakuan, misalnya saja kelakuannya yang menurutnya baik, tapi sebenarnya salah.Kebanyakan anak ketika beranjak dewasa akan bermasalah karena perilaku mereka yang negatif.
Hal ini merupakan hasil dari perlakuan orangtua yang salah. Banyak dari mereka yang tidak berhasil beradaptasi dengan lingkungan karena sikap kasar dan intoleran. Ini sebenarnya yang dihadapi oleh negara kita yang mana anak-anak melakukan apa saja yang mereka inginkan walaupun hal tersebut salah. Ketidakpedulian orangtua atas kasih sayang yang selayaknya anak dapatkan juga berpengaruh pada sikap anak yang agresif. Anak akan selalu mencari perhatian di luar karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua. Ini terjadi pada saat orangtua sibuk memenuhi kebutuhan materi anak, sehingga berdampak pada berkurangnya waktu bersama anak. Akibatnya, anak menjadi pribadi yang terbentuk oleh lingkungan pergaulannya dan cenderung tidak peduli pada lingkungan sekitar yang merupakan hasil dari contoh yang diberikan orangtua. Anak juga akan menjadi pelaku kekerasan apabila dia sudah dibiasakan dengan kekerasan sejak kecil. Kekerasan tersebut akan dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan baik adanya. Hal ini akan menjadikannya pribadi yang kasar dan suka mencari masalah yang tidak hanya dilakukan dengan teman-temannya, tetapi juga dengan orang yang lebih tua darinya termasuk orangtua.
Tidak hanya orangtua, guru di sekolah juga berperan penting dalam pembentukan karakter anak. Apabila guru memperlakukan anak dengan kekerasan, kemungkinan besar anak akan membenci sekolah dan tidak lagi betah berada di lingkungan sekolah untuk menimba ilmu. Ini disinyalir merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka putus sekolah (dropout). Itulah sebabnya, pendampingan orangtua terhadap anak-anak mesti diakarkan sedini mungkin secara terencana.
(*)
Comment