# Studi Kasus di Puskesmas Se-Kota Kupang
# Oleh: Novi Winda Lutsina, S.Farm., M.Si, Apt (Kaprodi S1 Farmasi Universitas Citra Bangsa)
TEROPONGNTT, KUPANG — Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru (patient oriented) dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Obat sendiri merupakan suatu komponen esensial yang harus tersedia di sarana pelayanan kesehatan termasuk puskesmas. Obat merupakan bagian hubungan antara pasien dan sarana pelayanan kesehatan. Anggaran Kesehatan untuk negara berkembang mencapai sepertiga sampai dua pertiga dari total anggaran Kesehatan.
Di era jaminan kesehatan nasional (JKN) pelayanan kesehatan tidak lagi terpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, namun pelayanan kesehatan harus dilakukan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Prinsip ini memperlakukan pelayanan kesehatan difokuskan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dimana salah satunya adalah Puskesmas. Penguatan faskes primer sebagai ujung tombak pelayanan Kesehatan mengharuskan kualitas pelayanan harus tetap dijaga.
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kegiatan pelayanan di Puskesmas. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai serta pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi perencanaan kebutuhan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan, pelaporan dan pengarsipan, serta pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
Manajemen pengelolaan obat, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan Alkes merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial secara keseluruhan di pelayanan kesehatan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap pelayanan kesehatan baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan manajemen adalah agar pengelolaan obat, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan Alkes yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu. Sistem pengelolaan terdiri atas seleksi, pengadaan, distribusi dan penggunaan obat, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan Alkes yang dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia, fasilitas, perlengkapan, biaya/harga, administrasi dan sistem informasi.
Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan, perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajement (manajement support) yang meliputi organisasi, keuangan atau finansial, sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi manajemen (SIM). Setiap tahap siklus manajemen obat yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlasung secara efektif dan efisien.
Efektifitas adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif. Sedangkan efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian yang optimum.
Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Kupang, Puskesmas di Kota Kupang terus berkembang. Pada tahun 2004 jumlah puskesmas hanya 6 puskesmas, meningkat menjadi 7 puskesmas pada tahun 2005-2010, dan pada tahun 2010 telah ditingkatkan lagi 3 buah pustu menjadi puskesmas dan pada tahun 2015 kembali bertambah 1 Puskesmas baru yakni Puskesmas Manutapen yang juga di tingkatkan statusnya dari Puskesmas Pembantu, sehingga dari tahun 2015 sampai sekarang di Kota Kupang telah terdapat 11 buah puskesmas, yang terdiri dari 7 puskesmas rawat jalan dan 4 puskesmas rawat inap.
Dengan berkembangnya Puskesmas di Kota Kupang maka perlu dilakukan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan mutu pelayanan. Evaluasi dapat menggunakan indikator efisiensi, dimana indikator efisiensi digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana tujuan atau sasaran telah berhasil dicapai. Selain itu indikator dapat digunakan untuk menentukan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian stategi dari sasaran yang telah ditetapkan. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan untuk penentuan kebijakan untuk meninjau kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang pengelolaan obat, BMHP, alkes di Puskesmas Kota Kupang menggunakan indikator efisiensi menggambarkan pengelolaan belum dilakukan secara maksimal. Indikator efisiensi dimulai dari tahap selection: Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN; Kesesuaian item obat yang tersedia dengan FORNAS; tahap procurement: kesesuaian item dan jumlah permintaan, kesesuaian item penerimaan, dan ketepatan perencanaan; tahap distribution: Kesesuaian jumlah fisik, kesesuaian penyimpanan yang sesuai dengan aturan FIFO dan FEFO, Item kadarluarsa/rusak, item yang tidak diresepkan selama 3 bulan, Tingkat ketersediaan; tahap Use: jumlah item obat perlembar resep, persentase obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotik, persentase peresepan injeksi, waktu pelayanan resep, persentase pelabelan obat.
Mengingat begitu banyaknya permasalahan-permasalahan dan ketidakefisienan dalam pengelolaan obat maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dengan menggunakan metode Hanlon dan Pickett. Melalui metode ini akan muncul usulan perbaikan berdaasarkan prioritas penanganan masalah. Sistem dasar penilaian prioritas (Brief Priority Rating Scale, BPRS) adalah untuk membandingkan masalah kesehatan dengan cara yang relatif, objektif membantu para pengambil keputusan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan suatu prioritas.
Dari hasil analisis usulan perbaikan diperoleh rumusan perbaikan yang diajukan sebagai strategi pengembangan pengelolaan mulai dari tahap selection, procurement, distribution dan use yaitu mengoptimalkan perencanaan sesuai kebutuhan puskesmas, pemantauan stok dan tanggal kedaluwarsa serta melakukan learning and growth secara berkala pada seluruh SDM.
(*)
Comment