TEROPONGNTT, VATIKAN — Paus Fransiskus meminta umat Katolikauntuk berhati-hati terhadap “penjinak ular,” “tukang obat,” “penipu” yang menawarkan “solusi mudah dan cepat untuk mengatasi penderitaan.” Hal ini merupakan pesan Prapaskah Paus Fransiskusyang dirilis di Vatikan pada Selasa (6/2/2018).
Bagi umat Katolik ritus Latin, Masa Prapaskah dimulai Rabu (14/2/2018).
Dengan judul “Karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin” (Matius 24:12), pesan Prapaskah Paus Fransiskus menyinggung kotbah Yesus kepada para rasul di Bukit Zaitun dan mengingatkan tentang nabi-nabi palsu serta tipuan, keegoisan, keserakahan dan tidak adanya kasih.
“Nabi palsu bisa muncul sebagai ‘penjinak ular’ yang memanipulasi emosi orang untuk memperbudak orang lain dan membawa mereka ke mana pun mereka pergi,” kata Paus Fransiskus seperti diberitakan indonesia.ucanews.com.
Sementara Amorpost.com dalam beritanya berjudul ‘Pesan Prapaskah Paus Fransiskus 2018: Nasihat tentang Nabi Palsu dan Apa yang Harus Kita Lakukan?’ memberitakan Pesan Prapaskah Paus Fransiskus 2018 secara lebih lengkap.
Beikut bunyinya :
Pesan Prapaskah Paus Fransiskus 2018 :
“Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” (Mat 24: 12)
Saudara dan saudari terkasih,
Sekali lagi, Paskah Tuhan sudah mendekat! Dalam persiapan kita untuk merayakan Paskah, Tuhan dalam pemeliharaan-Nya menawarkan kepada kita setiap tahun masa Prapaskah sebagai “tanda sakramen pertobatan kita”. [1] Prapaskah memanggil kita, memampukan kita, untuk kembali kepada Tuhan dengan segenap hati dan dalam setiap sisi kehidupan kita.
Melalui pesan ini, saya ingin sekali lagi di tahun ini untuk membantu seluruh Gereja mengalami rahmat yang baru, dengan sukacita dan dalam kebenaran. Saya ingin mengambil isyarat dari sabda Yesus dalam Injil Matius: “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” (24:12).
Firman ini muncul dalam khotbah Kristus tentang akhir zaman. Sabda ini diucapkan di Yerusalem, di Bukit Zaitun, di mana sengsara Tuhan akan dimulai. Sebagai jawaban atas pertanyaan para murid, Yesus menubuatkan sebuah kesusahan besar dan menggambarkan situasi di mana komunitas orang beriman bisa saja berada dalam situasi: di tengah cobaan yang besar, nabi-nabi palsu akan menyesatkan orang dan cinta kasih yang merupakan inti dari Injil akan tumbuh dingin di hati banyak orang.
Nabi palsu
Marilah kita mendengarkan kutipan Injil dan mencoba memahami kedok yang bisa digunakan para nabi palsu itu.
Mereka bisa muncul sebagai “ular-ular penggoda”, yang memanipulasi emosi manusia untuk memperbudak orang lain dan menuntun mereka ke tempat yang mereka inginkan. Berapa banyak anak-anak Tuhan terpesona oleh kesenangan sesaat, salah mengira bahwa semua itu adalah kebahagiaan yang sejati!
Berapa banyak pria dan wanita hidup terpesona oleh mimpi akan harta kekayaan, yang hanya membuat mereka menjadi budak demi keuntungan dan kepentingan-kepentingan kecil! Berapa banyak yang menjalani kehidupan denan keyakinan bahwa mereka tercukupi untuk diri mereka sendiri, dan akhirnya terjebak oleh kesepian!
Nabi-nabi palsu juga bisa menjadi “penipu”, yang menawarkan solusi yang mudah dan instan untuk penderitaan yang segera terbukti sama sekali tidak berguna. Berapa banyak anak muda yang dipengaruhi oleh obat narkoba, hubungan yang tak harmonis, dengan keuntungan yang mudah tapi tidak jujur!
Berapa banyak lagi yang terjerat dalam eksistensi “dunia maya” yang menyeluruh, di mana hubungan muncul dengan cepat dan mudah, hanya membuktikan tak bermakna! Para penipu ini (nabi palsu), dalam menjajakan barang-barang yang tidak memiliki nilai nyata, merampok semua hal yang paling berharga dari manusia: martabat, kebebasan dan kemampuan untuk mencintai.
Mereka menyukai kesombongan kita, kepercayaan kita pada penampilan, tapi pada akhirnya mereka hanya membuat kita bodoh. Kita juga tidak perlu heran. Untuk merusak hati manusia, iblis, yang adalah “pendusta dan bapa dari segala dusta” (Yoh 8:44), selalu menunjukkan kejahatan sebagai kebaikan, kepalsuan sebagai kebenaran.
Itulah sebabnya setiap kita dipanggil untuk memeriksa hati kita untuk melihat apakah kita menjadi mangsa kebohongan para nabi palsu ini. Kita harus belajar melihat dari dekat, di bawah permukaan, dan mengenali apa yang meninggalkan tanda baik dan abadi di hati kita, karena itu berasal dari Tuhan dan benar-benar untuk kebaikan kita.
Hati yang dingin
Dalam gambarannya tentang neraka, Dante Alighieri melukiskan setan duduk di atas takhta es [2], dalam pengasingan yang membeku dan tanpa kasih. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri dengan baik bagaimana hal itu terjadi bahwa cinta kasih bisa menjadi dingin dalam diri kita. Apa saja tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kasih kita mulai menjadi dingin?
Foto ilustrasi dari Pixabay.com
Lebih dari segala hal lain, apa yang merusak cinta kasih adalah ketamakan akan uang, “akar segala kejahatan” (1Tim 6:10). Penolakan akan Allah dan damai-Nya akan segera mengikuti; kita lebih menyukai desolasi kita daripada kenyamanan yang ditemukan dalam sabda-Nya dan sakramen-sakramen. [3]
Semua ini mengarah kepada kekerasan melawan siapa pun yang kita anggap sebagai ancaman terhadap “kepastian” kita sendiri: anak yang tidak dilahirkan, para orang tua dan yang menderita, migran, orang asing di antara kita, atau sesama kita yang tidak memenuhi harapan kita.
Ciptaan sendiri menjadi saksi bisu atas mendinginnya kasih. Bumi diracuni oleh penolakan, dibuang karena keteledoran atau demi kepentingan diri sendiri. Lautan, yang tercemari, menelan sisa-sisa korban kapal rusak yang tak terhitung banyaknya dari migrasi paksa. Surga, yang dalam rencana Allah, diciptakan untuk mengidungkan pujian-pujian-Nya, dirobek oleh mesin-mesin yang menghujani alat-alat kematian.
Kasih juga dapat menjadi dingin dalam komunitas-komunitas kita sendiri. Dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, saya berusaha menjelaskan tanda-tanda nyata kurangnya kasih ini: keegoisan dan kemalasan rohani, pesimisme mandul, godaan pada keterkungkungan diri, permusuhan terus-menerus di antara kita, dan mentalitas duniawi yang membuat kita khawatir hanya untuk penampilan, dan dengan demikian mengurangi semangat misioner kita. [4]
Apa yang harus kita lakukan?
Barangkali kita melihat, jauh di dalam diri kita sendiri dan semua tentang kita, tanda-tanda yang baru saja saya jelaskan. Tetapi Gereja, Bunda dan Guru kita, bersama dengan obat kebenaran yang sering kali terasa pahit, menawarkan kepada kita dalam masa Prapaskah ini obat yang meringankan rasa sakit yakni doa, derma dan puasa.
Dengan mencurahkan lebih banyak waktu untuk doa, kita memungkinkan hati kita untuk membasmi kebohongan-kebohongan rahasia dan bentuk-bentuk penipuan diri kita, [5] dan kemudian menemukan konsolasi yang ditawarkan Allah. Dialah Bapa kita dan Dia ingin kita menghayati hidup dengan baik.
Derma membebaskan kita dari ketamakan dan membantu kita untuk memandang sesama kita sebagai saudara dan saudari. Apa yang saya miliki tidak pernah menjadi miliki saya sendiri. Betapa saya ingin agar derma menjadi gaya hidup sejati kita masing-masing! Betapa saya ingin kita, sebagai orang-orang Kristiani, mengikuti teladan para Rasul dan melihat dalam berbagi kepemilikan kita kesaksian nyata persekutuan kita dalam Gereja!
Untuk alasan ini, saya menggemakan seruan Santo Paulus kepada umat di Korintus untuk mengumpulkan dana bagi komunitas Yerusalem sebagai sesuatu yang akan memberikan manfaat bagi diri mereka sendiri (bdk. 2Kor 8:10).
Ini semua lebih mengena selama masa Prapaskah, ketika banyak kelompok mengumpulkan dana untuk membantu Gereja-Gereja dan masyarakat yang membutuhkan. Namun saya juga berharap bahwa, bahkan dalam perjumpaan kita sehari-hari dengan mereka yang meminta bantuan kita, kita dapat memandang permintaan itu seakan berasal dari Allah sendiri.
Ketika kita memberi derma, kita berbagi dalam kepedulian penyelenggaraan Allah bagi masing-masing dari anak-anak-Nya. Jika melalui saya Allah membantu seseorang hari ini, bukankah Dia besok menyediakan kebutuhanku sendiri? Sebab tidak ada orang yang bermurah hati seperti Allah. [6]
Puasa melemahkan kecenderungan kita terhadap kekerasan; puasa melucuti kita dan menjadi kesempatan penting untuk bertumbuh. Di satu pihak, hal itu memungkinkan kita untuk mengalami apa itu kekurangan dan kelaparan yang harus ditanggung.
Di pihak lain, itu juga mengungkapkan kelaparan dan kehausan rohani kita sendiri untuk hidup dalam Allah. Puasa membangunkan kita, membuat kita lebih memberi perhatian kepada Allah dan sesama kita. Itu membangkitkan kembali hasrat kita untuk mematuhi Allah, hanya Dialah yang mampu memuaskan dahaga kita.
Saya juga ingin mengajak melampaui batas-batas Gereja Katolik, dan untuk menjangkau Anda semua, laki-laki dan perempuan berkehendak baik, yang terbuka untuk mendengarkan suara Allah.
Barangkali, seperti kami sendiri, Anda terganggu oleh menyebarluasnya kedurhakaan di dunia, Anda khawatir dengan kedinginan yang melumpuhkan hati dan tindakan, dan Anda melihat melemahnya citarasa kita sebagai anggota dari keluarga manusia yang satu.
Maka, bergabunglah bersama kami memanjatkan permohonan kami kepada Allah, dalam berpuasa, dalam memberikan apa pun yang Anda bisa berikan kepada para saudara dan saudari kita yang membutuhkan!
Api Paskah
Terutama, saya mendesak para anggota Gereja untuk memulai perjalanan Prapaskah dengan antusiasme, ditopang oleh derma, puasa dan doa. Jika kadang-kadang nyala kasih tampak redup dalam hati kita masing-masing, ketahuilah bahwa hal ini tidak pernah terjadi dalam hati Allah! Dia terus-menerus memberi kita kesempatan untuk mengasihi secara baru.
Satu saat berahmat semacam itu akan terjadi, sekali lagi dalam tahun ini, yakni prakarsa “24 jam bagi Tuhan,” yang mengundang seluruh komunitas Kristiani untuk merayakan Sakramen Rekonsiliasi dalam konteks penyembahan Ekaristi.
Pada tahun 2018, diilhami oleh kata-kata Mazmur 130:4, “Pada-Mu ada pengampunan,” hal ini akan berlangsung dari Jumat, 9 Maret sampai Sabtu, 10 Maret. Di setiap keuskupan, setidak-tidaknya satu Gereja akan tetap terbuka selama dua puluh empat jam terus-menerus dengan menawarkan kesempatan, baik untuk penyembahan Ekaristi maupun Sakramen Pengakuan.
Selama Vigili Paskah, kita akan merayakan sekali lagi ritus yang mengharukan dari pencahayaan lilin Paskah. Diambil dari “api baru,” cahaya ini perlahan-lahan menghalau kegelapan dan menerangi para peserta liturgi.
“Semoga cahaya Kristus yang bangkit dalam kemuliaan menghalau kegelapan hati dan pikiran kita,” [7] dan memampukan kita semua untuk menghayati kembali pengalaman para murid di jalan menuju Emaus. Dengan mendengarkan sabda Allah dan mengambil bagian dalam santapan dari meja Ekaristi, semoga hati kita semakin bersemangat dalam iman, harapan dan kasih.
Dengan penuh kasih dan janji doa-doa saya untuk kalian semua, saya menyampaikan berkat saya. Mohon jangan lupa doakan saya. (*)
Comment